Beranda » Berita Kerah Biru >> Dampak Kebijakan Iklim Pada Pasar Tenaga Kerja
Jakarta_Kerahbirunews,- Perubahan iklim menjadi isu yang selalu hangat untuk dibicarakan baik secara global maupun pada tingkat lokal. Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang terjadi secara langsung maupun tidak oleh aktivitas manusia. Aktivitas dimaksud adalah yang merubah komposisi atmosfir secara global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat dibandingkan. Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai komposisi atmosfer global telah mengalami peningkatan.Peningkatan ini seiring dengan meningkatnya kadar gas Karbondioksida (CO2), gas metana (CH4), Nitrogen (N2) dan gas rumah kaca lainnya.
Secara bertahap suhu atmosfer terus meningkat sejak awal era industrialisasi dan berbagai persoalan salah satunya pemanasan global. Masyarakat Internasional telah mengambil banyak tindakan untuk mengatasi iklim perubahan, termasuk penandatanganan beberapa perjanjian global.
Kebijakan Iklim Global
Diketahui pada tahun 1992, United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) disusun melalui konvensi Rio. Konvensi ini secara resmi berlaku sejak 21 Maret 1994 dan diratifikasi 197 negara. Adapun tujuan konvensi Rio adalah untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada level yang dapat mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya. Indonesia meratifikasi melalui undang-undang No.6 tahun 1994.
Kemudian pada tahun 1997 dibuat suatu perjanjian yang merupakan turunan dari UNFCCC yang dikenal dengan Protocol Kyoto. Protocol Kyoto resmi berlaku sejak 16 Februari 2005 dan diratifikasi oleh 191 negara. Indonesia meratifikasi melalui undang-undang No.17 tahun 2004. Tujuan Protocol Kyoto adalah membatasi emisi negara-negara maju. Hal ini karena anggapan bahwa negara majulah yang paling bertanggung jawab atas meningkatnya GRK.
Kemudian pada 12 Desember 2015, sebanyak 196 negara menyepakati Paris Agreement (Perjanjian Paris) yang mulai berlaku pada 4 November 2016. Perjanjian ini dibuat untuk memperkuat respon global terhadap ancaman iklim dalam konteks Pembangunan berkelanjutan dan usaha memberantas kemiskinan. Tujuan ini termasuk menjaga “peningkatan suhu rata-rata global agar tetap terkendali” di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan mengupayakan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri.
Perbedaan Paris Agreement (PA) dengan kesepakatan yang lain adalah dari segi pendekatan. PA menggunakan pendekatan bottom-up dimana setiap negara wajib menyusun Nationally Determinated Contribution (NDC). Indonesia menerbitkan undang-undang no 16 tahun 2016 tetang pengesahan PA menjadi dasar hukum implementasi perjanjian di tingkat nasional.
Kebijakan iklim telah mendorong semua negara untuk menggantikan energi fosil kepada energi bersih. Dekarbonisasi atau coal phase out sebagai salah satu target mencapai net zero emission (NZE) akan berdampak langsung kepada pekerja. Pekerja yang terdampak langsung adalah sektor pertambangan batubara dan semua pekerjaan terkait lainnya. Perubahan ini tentu lambat laun akan membawa dampak yang semakin luas pada sektor lainnya.
Dampak Kebijakan Iklim Pada Tenaga Kerja
Mengutip penelitian Pollit dkk., dengan menggunakan simulasi model ekonometrik E3ME tampak bahwa terjadi proyeksi penurunan populasi usia kerja dengan proses dekarbonisasi dan diperkirakan setelahnya pada 2020, laju penurunannya akan semakin cepat. ( Grafik di bawa ini menggambarkan total lapangan kerja dalam kasus referensi dan skenario dekarbonisasi )

Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan iklim membawa dampak negatif terhadap lapangan kerja. Oleh sebab itulah dibutuhkan suatu konsep yang dikenal sebagai konsep Just Energy Transition (JET). JET bertujuan untuk menghasilkan sumber daya energi baru sekaligus menghasilkan lapangan kerja yang ramah lingkungan. Just Energy Transition diharapkan akan membantu manusia menemukan solusi terhadap ketenagakerjaan akibat dari kebijakan perubahan iklim. JET harus menjadi alat bagi gerakan serikat pekerja maupun komunitas lainnya yang digunakan untuk memuluskan perubahan menuju masyarakat yang berkelanjutan. Selain itu JET harus memberikan harapan kapasitas ekonomi hijau dimana tercipta lapangan kerja yang layak bagi semua.
Just Energy Transition
Just Energy Transition diperkirakan akan membuka jutaan lapangan kerja baru. Lapangan kerja baru ini diharapkan siap menampung para pekerja yang terkena dampak kebijakan perubahan iklim . Pada pembukaan Paris Agreement secara khusus disebut bahwa perlunya suatu sistem “transisi yang adil bagi tenaga kerja”. Pembukaan ini bisa jadi ditujukan pada pekerja yang akan diberhentikan oleh perusahaan yang menimbulkan polusi, yang harus ditutup sebagai akibat dari kebijakan iklim.
Kebijakan iklim meskipun menguntungkan bagi kesehatan, namun sebaliknya terjadi kerugian pada pekerja. Pekerja harus kehilangan pekerjaan akibat berhentinya perusahaan penghasil polusi tempat mereka bekerja oleh tekanan kebijakan iklim.
Namun dampak buruk terhadap pekerjaan tentu saja dapat diperbaiki. Kebijakan-kebijakan pemerintah sangat berperan dalam adaptasi terhadap perubahan iklim.
Singkatnya, Iklim secara faktual memiliki masalah jauh lebih kompleks daripada yang diperkirakan. Perubahan iklim global menghadapkan semua negara dengan isu konsensus kebijakan iklim.Kebijakan mitigasi dan adaptasi adalah kunci negara mampu mengatasi persoalan ketenagakerjaan kedepannya.
Penulis :
Royanto Purba
Ketua Umum FSP Kerah Biru-SPSI