Dampak Teknologi Digital Terhadap Perempuan

Beranda » Berita Kerah Biru >>Dampak Teknologi Digital Terhadap Perempuan

 

Jakarta_Kerahbirunews,-  Dalam rangka peningkatan kinerja secara efesien dan efektif, digitalisasi hadir sebagai dampak perkembangan teknologi baru yang terus berkembang dengan pesat. Tak dapat dipungkiri teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam struktur ketenagakerjaan. Perkembangan teknologi yang tidak terbentung tersebut telah mengakibatkan berbagai jenis pekerjaan hilang secara besar-besaran dalam waktu yang sangat cepat.

Perkembangan teknologi digital telah mengakibatkan  penggantian tenaga kerja, meski dampak tersebut bervariasi berdasarkan  jenis pekerjaannya, namun harus diakui bahwa perempuan adalah kelompok yang paling rentan akibat kesenjangan gender (ketidaksetaraan gender) pada pasar tenaga kerja. Kerentanan perempuan ini akibat kurangnya akses dalam bidang sains, teknologi, dan teknik (engineer) yang berlangsung lama dan merupakan salah satu sisi penyebab kesenjangan gender dalam dunia ketenagakerjaan.

Inovasi digital dengan dalih efesiensi atau hemat tenaga kerja tentu menjadi investasi yang menarik bagi para investor dalam mengembangkan otomatisasi di dunia kerja.  Namun meskipun otomatisasi diperkirakan semakin tinggi namun diperkirakan dalam beberapa pekerjaan yang memiliki upah rendah, otomatisasi tentu bukan merupakan lirikan para investor karena upah rendah tidak menjadi gangguan bagi perkembangan bisnis mereka. Artinya proses otomatisasi tidak bersifat linier. Dalam hal ini dialog sosial dapat memainkan peran penting dalam menentukan teknologi apa yang diadopsi, bagaimana, dan untuk tujuan apa sehingga pekerjaan berupah rendah dapat merasakan dampak positif dari kemajuan teknologi.

Kesenjangan dan pemberdayaan digital pada gender

Ditengah maraknya kampanye kesetaraan gender, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif melalui pemanfaatan teknologi seluler dan layanan keuangan digital terus dikembangkan. Dalam lintasan pembangunan sosial ekonomi dalam pemberdayaan perempuan, teknologi digital menjadi umum dijadikan sebagai mekanisme terutama di negara-negara berkembang. Namun ketidaksetaraan gender di pasar tenaga kerja baik dalam hal partisipasi, upah dan pendidikan terus berlanjut dan menjadi tantangan global yang tidak dapat diabaikan.

Dalam laporan World Economic Forum (2021) dan World Bank (2021) menekankan upaya mempersempit kesenjangan digital sebagai bagian penting dalam mengatasi kesenjangan gender. Diketahui bahwa peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan dalam hal teknologi digital telah meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi perempuan. Namun peluang yang ditimbulkan oleh teknologi baru tersebut juga memiliki berbagai tantangan.

Digitalisasi, pemberdayaan atau dis-pemberdayaan Perempuan?

Salah satu tantangan yang mendapat perhatian serius adalah pertanyaan tentang siapa yang mendapat akses terhadap jaringan dan teknologi digital, apakah hal ini memungkinkan perempuan untuk mengakses peluang kerja dan meningkatkan pendapatan sehingga mereka dapat mengatasi kesenjangan yang sudah berlangsung lama. Memastikan inklusif digital saja tidak akan serta merta mengarah pada pemberdayaan dan kesetaraan gender.

Memiliki akses digital, keterampilan, atau literasi tidak secara otomatis berubah menjadi pemberdayaan. Terdapat hambatan besar dalam memanfaatkan peluang ekonomi yang dilatarbelakangi oleh faktor  ras atau kasta, agama, kelas, dan kesenjangan sosial lainnya. Misalnya saja, perempuan yang terpinggirkan berdasarkan kasta, budaya, dan agama, mungkin akan sulit mengakses sumber daya digital atau mencari pekerjaan meskipun mereka memiliki keterampilan digital. Selain itu, banyak perempuan terjebak dalam peran keluarga tradisional dan norma patriarki, yang membatasi mereka dalam mengakses dan menggunakan teknologi digital untuk pemberdayaan sosial dan ekonomi mereka sendiri.

Pada masyarakat patriarki , stigma yang melekat pada perempuan yang memiliki akses digital berpeluang melakukan hal-hal yang tidak pantas, juga menjadi kendala tambahan. Banyak norma-norma yang harus harus dipatuhi perempuan yang mengakibatkan akses mereka terhadap digital semakin sempit.

Akan tetapi melihat sepintas pengalaman pandemi COVID-19, perempuan telah menggunakan alat digital seperti media sosial untuk menjalankan usaha kecil mereka di tengah kendala mobilitas, kekhawatiran terhadap kesehatan dan keselamatan, serta tanggung jawab perawatan. Media sosial mampu memberikan peluang bagi perempuan untuk berjejaring dan memperluas usaha mereka, mendapatkan pesanan dan melakukan pembayaran, serta berkolaborasi dalam membangun solidaritas dengan usaha mikro dan kecil lainnya.

Namun, meskipun akses terhadap media sosial memberikan peluang bagi perempuan khususnya di wilayah perkotaan, akses terhadap teknologi tersebut masih menjadi tantangan bagi mereka yang berada di pasar informal di wilayah pedesaan. Kurangnya akses terhadap telepon seluler bagi perempuan disebabkan oleh hambatan ekonomi dan hambatan normatif lainnya, serta hubungan kekuasaan dalam rumah tangga. Pekerjaan perempuan sering dianggap sebagai pekerjaan nomor dua dalam rumah tangga, sumber daya yang langka seperti telepon seluler sering kali diberikan kepada laki-laki. Dalam menggunakan teknologi seluler, perempuan dibatasi karena tanggung jawabnya terhadap keluarga dan norma-norma sosial.

Dengan tantangan dan peluang tersebut maka akan muncul pertanyaan apakah platform ketenagakerjaan digital menjadi pemberdayaan atau dis-pemberdayaan bagi perempuan?

Penawaran fleksibilitas sering menjadi mitos belaka

Secara umum diketahui bahwa perempuan membuat keputusan bergabung dalam platform digital karena alasan fleksibilitas dan kebebasan yang ditawarkan dalam jam kerja.  Perempuan yang bekerja dengan aplikasi khususnya di platform ekonomi dapat menyeimbangkan penghasilan mereka dengan tanggung jawab rumah tangga, terutama bagi perempuan menikah yang memiliki anak maupun bagi ibu tunggal.

Disisi lain,  perempuan pekerja muda memandang platform sebagai alternatif mata pencaharian sementara dan hal ini membuat mereka terpapar dengan beragam jenis klien. Terkadang dengan berbagai tipikal klien, fleksibilitas yang tadinya diharapkan oleh platform pada akhirnya hanyalah sebuah mitos karena pada kenyataannya perempuan sering kali harus bekerja lebih lama dan pada jam-jam yang tidak lazim di siang hari.

Sebagai contoh misalnya dalam pekerjaan pengiriman makanan. Terkadang pekerja pengiriman,bekerja enam hari seminggu selama lebih dari enam jam setiap hari untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Fleksibilitas seringkali menjadi alat untuk melegitimasi peralihan ganda bagi ‘perempuan’ (pekerjaan di tempat kerja dan rumah tangga), sementara terdapat pergulatan terus-menerus antara proses produksi dan reproduksi sosial yang memperdalam kerentanan pekerja platform perempuan dimana mereka jarang menikmati fleksibilitas.

Terminologi kemitraan berindikasikan slavery

Perlu kejelian dalam melihat perkembangan ini. Seringkali platform digital menjadi basis mengeksplorasi kerentanan dan hambatan lintas sektoral yang penggerak utamanya perempuan. Kesalahan klasifikasi pekerja di platform sebagai ‘wiraswasta’ atau ‘kontraktor independen’ atau ‘mitra’ memungkinkan platform sebagai alat untuk menghindari undang-undang ketenagakerjaan.

Kaum kapitalis sering kali menunjukkan bahwa perusahaan mereka adalah perusahaan teknologi yang menawarkan jasa kerja sama (mitra) bukan sebagai pekerja, yang memungkinkan mereka untuk menghindari peraturan ketenagakerjaan untuk menyangkal ‘identitas kontrak’ mereka sebagai pekerja. Kurangnya akses terhadap segala jenis perlindungan tenaga kerja seperti tunjangan pengangguran, cuti sakit, cuti berbayar, perlindungan sosial semakin menambah eksploitasi terhadap pekerja perempuan.

Eksploitasi terhadap pekerja perempuan yang berkerja pada platform digital mengindikasikan perbudakan modern (modern slavery). Aturan-aturan yang diberlakukan oleh pelaku usaha berbasis platform justru sering menjebak ketidakbebasan pekerja platform karena berbagai syarat dalam mendapatkan hasil.

Meskipun platform tidak mengakui para pekerja ini sebagai karyawan mereka, ‘Pekerjaan platform di sektor rumah tangga dan perawatan di rumah sering ditemukan memiliki mekanisme baru ketidaktampakan dan eksploitasi pekerja terutama pada pekerja migran perempuan. Beberapa penemuan bahwa waktu kedatangan dan keberangkatan pekerja migran perempuan dipantau oleh manajer yang ‘tidak terlihat’ tanpa memberikan mereka status karyawan. Mereka memiliki tenaga kerja yang tersedia dan dapat dieksploitasi tanpa harus memberikan tunjangan apa pun terkait pekerjaan dan jaminan sosial. Janji fleksibilitas sering kali juga dilanggar.

Telah banyak penelitian yang mengungkap bagaimana pekerja perempuan menavigasi antara pekerjaan berbayar, pekerjaan tidak berbayar, dan tanggung jawab perawatan, serta janji palsu mengenai fleksibilitas platform. Berbagai penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kondisi kerja yang tidak menentu di platform dan peningkatan beban kerja yang dibayar dan tidak dibayar bagi perempuan tidak bermanfaat bagi kesejahteraan perempuan. Betapa banyak perempuan rentan, seperti ibu tunggal, mengambil risiko untuk mendapatkan uang atau menabung, seperti bekerja saat sakit dan menstruasi, atau saat kelelahan, yang berdampak pada kesehatan mereka.

Selain itu, sifat pekerjaan, baik itu ride-hailing (yang didominasi laki-laki yang mengharuskan melakukan perjalanan jarak jauh di malam hari) atau pekerjaan kecantikan dan pekerjaan rumah tangga (yang mengharuskan pekerjaan dilakukan dalam privasi rumah klien), semuanya membawa risiko unik bagi perempuan. Bahkan pekerja perempuan dengan paparan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual yang lazim terjadi di semua platform. Perempuan seringkali menghadapi ketidakadilan antara mempertaruhkan keselamatannya dengan bekerja di malam hari.

Situasi genting di platform ini semakin memperdalam ketidaksetaraan gender yang ada, menjadikan posisi pekerja perempuan semakin genting, tidak aman, dan rentan.  

Perlu belajar dari cara  Tiongkok dalam mengatasi kekerasan berbasis gender di platform yang didominasi laki-laki. Pekerja platform perempuan secara eksplisit mengecualikan laki-laki dan pengelola platform dari grup media sosial mereka. Contohnya pengemudi perempuan lebih memilih grup WeChat dan TikTok khusus perempuan untuk mengomunikasikan pengalaman mereka dan membangun solidaritas, serta mencari dukungan selama dalam perjalanan. Ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok WeChat memainkan peran penting dalam menyediakan ruang aman ‘bagi pengemudi perempuan untuk mengatasi konfrontasi yang mereka hadapi di lingkungan kerja yang maskulin .

Kehadiran Negara Penting Dalam Membuat Kebijakan

Peran negara dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan mengingat pesatnya laju digitalisasi. Pemerintah harus mengakui kesulitan mengatur platform kerja digital karena platform telah mengklasifikasikan pekerja sebagai kontraktor independen atau wiraswasta, mereka dibebaskan dari penyediaan perlindungan tenaga kerja dan sosial.

Penting untuk menyadari bahwa klasifikasi pekerja sebagai pekerja tidak secara otomatis mengatasi kondisi kerja yang buruk dan penting untuk memastikan bahwa pekerja, terlepas dari apakah mereka diklasifikasikan sebagai wiraswasta atau karyawan, harus menikmati hak untuk berserikat, melakukan perundingan bersama, dan melakukan tawar-menawar secara kolektif. dan diberikan perlindungan ketenagakerjaan dan sosial universal.

Selain itu, meskipun negara mempunyai peran regulasi yang penting, proses formalisasinya memerlukan keterlibatan dan partisipasi aktif pekerja platform. Dalam konteks ini, teknologi digital juga dapat dimanfaatkan secara efektif untuk menyediakan pekerjaan yang layak bagi semua pekerja.

Pemerintah dapat menggunakan teknologi digital untuk mendorong formalisasi melalui pembayaran digital, antara lain memberikan perlindungan sosial dan manfaat lainnya, pengajuan dan pembayaran pajak. Strategi ini dapat digunakan untuk pekerjaan platform.

Perlu dibuat tata cara platform kerja digital agar dapat digunakan untuk memprofesionalkan pekerjaan rumah tangga dan menawarkan mereka lebih dari sekedar upah minimum, sekaligus mengatur jumlah jam kerja. Negara juga dapat memainkan peran promotif yang penting, baik melalui meningkatkan keterampilan dan meningkatkan keterampilan pekerja perempuan .

Melibatkan kelompok rentan dan marginal dalam pembuatan kebijakan

Pada akhirnya, kebijakan publik harus didasarkan pada analisis feminis dan dekolonial terhadap gender, ras atau kasta, kelas, dan dinamika lain yang membentuk masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan pekerja, perempuan, dan kelompok marginal lainnya dalam perancangan dan pemantauan kebijakan adalah hal yang sangat penting .Proses perumusan kebijakan yang lebih kontekstual, partisipatif, dan akuntabel untuk memastikan bahwa kebijakan digital didasarkan pada konteks lokal, sosial, dan ekonomi, serta mengakui norma struktural/sosiokultural yang mendasarinya.  Kuncinya adalah regulasi platform ketenagakerjaan digital dan penerapan kebijakan publik yang emansipatoris.

Dari berbagai sumber :

Alvina J S ( Ketua Bidang Jamsostek FSP Kerah Biru-SPSI)

By Kerah Biru

Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru berdiri pada tanggal 29 September 2022 di Jakarta. Merupakan Federasi Serikat Anggota termuda yang berafliasi pada Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *