Beranda » Berita Kerah Biru >>FGD Nasional Terkait Ability to Pay Willingness to Pay
Jakarta_Kerahbirunews,- Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru, Royanto Purba menghadiri undangan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Arya Duta, Jakarta pada Kamis, 14 November 2024. FGD yang diinisiasi oleh KB Consulting & Training tersebut berfokus pada kemampuan membayar dan kemauan membayar peserta Jaminan Sosial Kesehatan dari peserta sektor informal (Pekerja Bukan Penerima Upah -PBPU).
Prof. Hasbulla Thabrany yang bertindak sebagai moderator pada kegiatan tersebut menjelaskan bahwa terdapat dua sesi FGD yang mencakup para pemangku kepentingan dalam upaya mengeksplorasi kemampuan ekonomi peserta PBPU yang mempengaruhi pembayaran iuran. Selain itu diharapkan melalui diskusi interaktif dapat diidentifikasi rekomendasi dalam upaya meningkatkan kepesertaan aktif dan kolektibilitas iuran berdasakan tingkat ekonomi peserta PBPU.
FGD yang menghadirkan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Deputi Jaminan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kepala Sekretariat Kantor Staf Kepresideanan dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, berlangsung secara daring.
Royanto Purba dalam pemaparannya menjelaskan bahwa perlu disepakati terlebih dahulu terminologi PBPU dan Batasan-batasannya. Menurutnya jika mengacu pada Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan maka pekerja informal mengacu pada pekerja tanpa relasi kerja yang artinya tidak memiliki perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja termasuk upah. Sedang menurut kelembagaan lain UMKM juga digolongkan pada pekerja informal.Petani, nelayan, buruh bangunan, dokter, dan pengacara juga bagian dari PBPU. Tentu ini menjadi dilema karena jika mengacu pada prinsip-prinsip sistem jaminan sosial sudah tidak memenuhi asas keadilan.
Royanto menambahkan bahwa salah satu yang mempengaruhi kemampuan membayar PBPU adalah masalah penghasilan yang tidak tetap, pekerjaan yang tidak tetap sehingga sering mengalami kendala dalam membayar iurannya. Selain itu seorang PBPU dengan iuran Rp.42.000 per bulan harus juga membayar per-kepala setiap anggota rumah tangganya yang bisa melebihi pembayaran dari seorang pekerja PPU.
Wakil Sekjen DPP KSPSI itu menyoroti permasalahan data, jika mengacu pada data BPS pada bulan Maret 2024 ada sebanyak 25,22 juta orang namun jika melihat hasil laporan BPJS Kesehatan pada bulan dan tahun yang sama, peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak 92,10 juta orang.
“Tentu ini akan menimbulkan pertanyaan, syarat PBI adalah warga yang digolongkan berpenghasilan rendah atau miskin. Artinya kedua data tersebut tidak sinkron” ungkapnya.
Royanto menambahkan bahwa sudah saatnya Indonesia serius menggunakan satu data, karena bagaimana mungkin jika data pada masing-masing kementerian/lembaga tidak sinkron. BPS punya data sendiri, Bappenas punya REGSOSEK, Kementerian Sosial memiliki DTKS, dan Kemenko PMK memiliki P3KE yang semuanya merupakan data.
Jika pemeritah serius, maka satu data akan memudahkan banyak pekerjaan kementerian/Lembaga. Misalnya Nomor Induk Kependudukan menjadi nomor Jaminan Sosial tentu akan lebih valid data yang digunakan dan menghindari kecurangan dalam pelaksanaannya.
Ketua Umum Kerah Biru tersebut juga mendorong agar revisi undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional segera terlaksana dan benar-benar menjadi undang-undang yang efektif dan efsien dalam memperbaiki Jaminan Sosial di Indonesia.