Beranda » Berita Kerah Biru >> Undang-Undang Perlindungan Kerja
Jakarta_Kerahbirunews,- Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII), Saepul Tavip menyampaikan siaran pers yang di tandatangani bersama Sekretaris IHII, Enung Yani kepada media, Senin, 10 Februari 2025. Siaran pers tersebut terkait dorongan penyusunan undang-undang perlindungan kerja yang terpisah dari Undang-Undang Cipta Kerja.
S I A R A N P E R S PENYUSUNAN UU PERLINDUNGAN KERJA HARUS DISEGERAKAN TERPISAH DARI UU CIPTA KERJA
Kami dari Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII), sebuah Lembaga Riset/Kajian, Pendidikan/Pelatihan dan Publikasi yang memilikii perhatian khusus di Bidang Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial dengan ini menyampaikan pernyataan sikap melalui siaran pers terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU[1]XXI/2023 pada akhir Oktober tahun 2024 lalu, sebagai berikut :
1. Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Oktober 2024 telah mengeluarkan putusan dalam perkara No. 168/PUU-XXI/2023 tentang uji materi terhadap UU Cipta Kerja No.6 tahun 2023 yang diajukan oleh sejumlah Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Partai Buruh. Salah satu pertimbangan yang sangat penting adalah dikeluarkannya kluster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dan perlunya pembuatan UU Ketenagakerjaan yang terpisah dan tersendiri yang mengatur secara komprehensif berbagai isu ketenagakerjaan. Putusan MK tersebut membawa angin segar bagi kalangan pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang selama ini terus berikhtiar mencari keadilan hukum, keadilan ekonomi dan keadilan sosial atas berbagai regulasi yang dari waktu ke waktu dirasa semakin mencekik dan mengebiri hak-hak pekerja/buruh.
2. UU Cipta Kerja yang dirancang untuk tujuan membuka lapangan kerja seluas[1]luasnya dengan cara mempermudah proses dan prosedur berinvestasi di Indonesia bagi investor asing, kenyataannya malah terbalik. PHK marak terjadi di mana-mana, hampir di semua sektor. Sepanjang tahun 2024, tercatat sekitar 80.000 pekerja terkena PHK. Itu yang terdata. Tentu di lapangan bisa jadi angkanya lebih besar. Besarnya angka PHK membuat tenaga kerja terjun ke sektor informal yang sangat rentan karena minim perlindungan dan kesejahteraan.
3. Sementara dalam praktek di lapangan, penanganan kasus-kasus perselisihan hubungan industrial serta proses pembuatan Peraturan Perusahaan (PP) maupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) seperti kehilangan pijakan hukum. Sebagian kalangan menganggap putusan MK tersebut belum dapat dijadikan dasar hukum karena belum ada pengaturan yang lebih bersifat operasional atas putusan MK. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Terjadi multi interpretasi antar para pelaku hubungan industrial. Begitu pula soal aturan turunannya, khususnya Peraturan Pemerintah No. 35 dan 36 tahun 2021 yang masih mengkaitkan dan mendasarkan pada aturan induknya, yaitu UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020. Padahal UU tersebut telah digantikan dengan UU Cipta Kerja No. 06 tahun 2023. Sementara UU Cipta Kerja No. 06 tahun 2023 itu sendiri telah dilakukan uji materi dan diputus oleh Mahkamah Konsitusi pada tanggal 31 Oktober 2024 lalu.
4. Selain itu, kerap terjadi disharmoni (bahkan kontradiksi) antara regulasi yang satu dengan yang lainnya. Bahkan antara UU dengan aturan turunannya (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan), sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. Belum lagi ada sejumlah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang membuat aturan yang sangat bertentangan dengan UU di Bidang Ketenagakerjaan. Diantaranya SEMA Nomor 3 Tahun 2015 (salah satu isinya adalah tentang upah selama proses PHK yang dibatasi hanya selama 6 bulan) dan SEMA No. 7 tahun 2012 (salah satu isinya tentang kedudukan hukum/legal standing Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai pihak dalam beracara di Pengadilan hubungan Industrial).
5. Menjadi sangat penting untuk menghadirkan satu regulasi ketenagakerjaan yang bersifat menyeluruh dan merupakan kumpulan dari sejumlah peraturan yang ada di Bidang Ketenagakerjaan dalam satu paket UU yang menjadi semacam kodifikasi hukum. Selama ini, publik kerap dihadapkan oleh sebuah kerumitan dan kesulitan ketika menghadapi kasus-kasus ketenagakerjaan serta dalam proses penyusunan PP/PKB harus mencari referensi hukum yang tercecer/tercerai berai di sejumlah aturan. Sebagian ada di UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, sebagian lagi di UU Cipta Kerja No.6 tahun 2023, lalu sebagiannya lagi di berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan Ketenagakerjaan (ada 38 putusan MK), serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Belum lagi aturan yang ada dalam SEMA (sebagaimana disebutkan di atas). Tidak jarang satu dengan yang lainnya tidak saling bersesuaian.
6. Oleh karena itu, kami mendesak kepada Pemerintah dan DPR RI untuk segera menyusun RUU Perlindungan Kerja (untuk menggantikan terminologi UU Ketenagakerjaan) melalui suatu mekanisme public hearing guna menyerap dan menampung aspirasi dan pendapat dari seluruh stakeholder (Serikat Pekerja, Pengusaha, Akademisi, LSM dan sebagainya) yang didahului dengan pembuatan naskah akademik guna memastikan seluruh permasalahan dan isu-isu ketenagakerjaan yang strategis benar-benar terakomodir secara komprehensif dan demokratis.
Terminologi UU Perlindungan Kerja adalah sangat relevan dan tepat mengingat posisi tawar dari kaum Pekerja/Buruh adalah sangat lemah dan rentan. Baik secara ekonomi, solial mupun politik, sehingga negara harus hadir untuk melindungi. Terlebih di era globalisasi/digitalisasi saat ini, kekuatan modal begitu besar di tengah pola hubungan kerja yang semakin lentur (Labour Market Flexibility). Adapun kepentingan kalangan Pengusaha/Para Pemodal, secara umum sudah terakomodir dalam berbagai produk hukum yang ada di bidang investasi, di bidang usaha, perijinan dan lain sebagainya (yang dalam penyusunannya tidak melibatkan unsur-unsur Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh).
Proses pembuatan UU Perlindungan Kerja yang dilakukan dan dipersiapkan dengan matang dan sejak jauh-jauh hari adalah sangat penting guna mencegah istilah kesan ”kebut dalam satu malam demi kejar setoran” yang kerap mengabaikan suara-suara rakyat. Proses penyusunan UU Cipta Kerja No. 11/2020 yang cacat formil, maupun UU Cipta Kerja No.6/2023 yang cacat materiil seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua agar tidak terulang lagi.
7. Beberapa isu penting yang sepatutnya menjadi perhatian dan menjadi materi DIM (Daftar Isian Masalah) dalam penyusunan RUU Perlindungan Kerja, diantaranya adalah :
- Hubungan kerja dan syarat-syarat kerja
- Sistem Pengupahan
- Kebebasan Berserikat
- Keselamatan dan Kesehatan Kerja
- Pekerja Migran
- Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
- Sistem pengawasan ketenagakerjaan
IHII berharap pembahasan RUU Pelindungan Kerja dilakukan secara demokratis, transparan, adil dan terbebas dari praktek-praktek transaksional yang hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 10 Februari 2025
Hormat kami,
Institut Hubungan Industrial Indonesia
Sekretaris Ketua
Enung Yani Saepul Tavip