Perbudakan Modern Menghantui Kawasan IMIP

Beranda » Berita Kerah Biru >>Perbudakan Modern Menghantui Kawasan IMIP

 

Morowali_Kerahbirunews,-  Salah satu poin penting dalam pernyataan tujuan yang diadopsi oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 10 Mei 1944 dalam Deklarasi Philadelphia adalah “ buruh atau pekerja bukanlah komoditas”. Pekerja bukanlah barang yang dapat diperjual belikan demi meraup keuntungan pengusaha. Pekerja adalah manusia yang melekat Hak Asasi Manusia pada dirinya yang berlaku secara universal.  Hal ini dikemukan oleh Wahya Anggara, Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP Kerah Biru-SPSI) Kabupaten Morowali, pada Jumat, 10 Mei 2024 di Labota,  Morowali.

Menurut Wahya, segala tindakan kepada pekerja yang dilakukan pengusaha dalam mengambil keuntungan maupun manfaat secara berlebihan dengan kesewenang-wenangan tanpa adanya tanggung jawab merupakan ekploitasi pekerja. Tentu ini dapat dikategorikan sebagai modern slavery atau perbudakan modern.

Lelaki asal Palopo, Sulawesi Selatan itu menjelaskan bahwa informasi yang diketahui di Kawasan IMIP terdapat 182 perusahaan atau dikenal dengan kontraktor lokal yang mendapatkan pekerjaan dari Perusahaan Asing yang ada di Kawasan.

Upah yang terlambat hingga tidak dibayar

“Permasalahannya adalah para kontraktor ini mempekerjakan pekerja dengan tidak menghormati HAM para pekerja. Terlalu banyak persoalan-persoalan yang merugikan pekerja” ungkap Wahya.

Permasalahan yang sering terjadi adalah persoalan upah. Tidak jarang ditemukan perusahaan tidak membayar upah atau pembayaran upah yang terlambat dengan dalih bahwa tagihan mereka belum dibayar pihak Asing.

“Ini sangat menjengkelkan. Bagaimana pengusaha berani  mempekerjakan pekerja dengan modal pas-pasan. Apakah Perusahaan Asing tidak melakukan audit kelayakan termasuk permodalan perusahaan kontraktor ? “ tegas Wahya.

Kejadian seperti ini akan berimbas pada kehidupan pekerja, tak jarang mereka harus diusir dari kontrakan karena ketidakmampuan membayar kontrakan, bahkan lebih fatal berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga pekerja.

Keselamatan dan kesehatan kerja yang tidak sesuai standar

Pelanggaran lainnya adalah tentang keselamatan dan kesehatan kerja atau K3.  Dengan tingkat risiko kerja yang sangat tinggi, perusahaan kontraktor tidak memiliki Ahli K3 yang berfungsi untuk mengontrol pekerja di lapangan. Bahkan terkadang dalam kondisi cuaca yang tidak memungkinkan, pekerja dipaksa bekerja yang jika tidak menurut dapat diberhentikan. Sudah banyak korban jiwa akibat kecelakaan kerja di Kawasan IMIP yang semuanya menghilangkan HAM pekerja untuk hidup.

Tidak terdafar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan

Wahya yang sehari-hari bekerja sebagai pekerja di perusahaan kontraktor lokal di Kawasan IMIP, juga menyoroti perihal pekerja yang tidak didaftarkan dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Tentu hal ini sangat melanggar norma ketenagakerjaan. Perlindungan dan Jaminan sosial adalah hak pekerja.

“Anehnya, sepertinya tidak ada pengawasan soal ini baik dari pihak perusahaan Asing, PT.IMIP maupun pemerintah. Ada apa ? “ tanya lelaki berdarah Bugis tersebut.

Penahanan KTP sebagai bentuk modern slavery

Salah satu yang mencirikan adanya modern slavery adalah penahanan KTP dengan dalih sebagai Jaminan kerja. Penahanan dokumen seperti ijazah dan Kartu Tanda Penduduk. Penahan dokumen seperti ini tentu menjadi jerat kebebasan bagi pekerja.

“Seharusnya pihak perusahaan cukup dengan mengadakan perjanjian kerja atau kontrak kerja dengan pekerja karena itukan sudah memiliki kekuata hukum” tegas Wahya.

Jam kerja yang berlebih

Dalam hal jam kerja, Wahya juga mengatakan bahwa pekerja bisa bekerja hingga 9 bahkan 10 jam dengan tidak dihitung lembur.

“Tidak semua pekerja itu memiliki prinsip yang sama, kami paham. Ada saja pekerja yang menerima semua perlakuan itu karena desakan kebutuhan sehingga posisi tawar terhadap perusahaan sangat rendah” ungkap Wahya.

Lemahnya fungsi pengawasan pelaksanaan regulasi

Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru Kabupaten Morowali sangat menyayangkan lemahnya pengawasan dari pemerintah. Meski sudah berulang kali berdialog dengan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Morowali, namun sampai saat ini belum tampak keseriusannya.

“Yang paling membuat kami kecewa adalah pemberitaan Kompas pada 26 Desember 2023 lalu yang bertajuk Disnakertrans Sulteng Akui Pengwasan Kawasan Industri Belum Optimal,  dengan alasan kendala personel dan anggaran” tandas Wahya.

“Kita ini meski tidak pendidikan tinggi, nggak bodoh-bodoh amat pak. Pemerintah pusat mengklaim pendapatan negara dengan hilirisasi nikel cukup signifikan, masa kurang anggaran? Anggaran kemana maksudnya ? “ ungkapnya.

Sebagai pengurus serikat pekerja, Wahya menegaskan bahwa FSP Kerah Biru-SPSI akan terus serius memperjuangkan apa yang menjadi hak pekerja. Sudah saatnya uji tuntas HAM diwajibkan bagi semua perusahaan yang ada di Kawasan IMIP. Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan HAM dalam Bisnis  Nikel ini harus benar-benar dirasakan pekerja.

“Janganlah sumberdaya alam yang kaya ini, tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pemerintah harus menyadari bahwa mereka juga manusia, bagaimana kalau sebaliknya mereka yang mengalami ini ? Dan terakhir kami minta semua pekerja bergabung menjadi anggota serikat pekerja.“ tutup Wahya.

By Kerah Biru

Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru berdiri pada tanggal 29 September 2022 di Jakarta. Merupakan Federasi Serikat Anggota termuda yang berafliasi pada Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *