Beranda » Berita Kerah Biru >>Perlunya Penyempurnaan Definisi Pekerja Informal
Jakarta_Kerahbirunews,- Terminologi pekerja informal di Indonesia masih memerlukan penyempurnaan defenisi dalam rangka menciptakan perlindungan sosial yang lebih baik. Hal ini dikatakan oleh Alvina (Ketua Bidang Jaminan Sosial FSP Kerah Biru-SPSI) usai mengikuti Diseminasi Dan Diskusi Publik Studi Pekerja Informal Perempuan Dalam Ekonomi Digital pada Kamis, 30 Mei 2024 di Hotel Pulman,Jakarta.
Alvina menjelaskan kepada kerahbirunews, bahwa dalam pemaparan Direktur Bina Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan Perluasan KK) diketahui propinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Lampung adalah propinsi dengan pekerja informal terbanyak.
“Tadi pembicara dari Kemnaker menjelaskan ada empat tantangan dan isu ketenagakerjaan pekerja perempuan sektor informal seperti keterbatasan sumber daya misalnya teknologi dan modal), kurangnya fleksibilitas dalam keseimbangan kerja,lemahnya perlindungan sosial, ketidaksetaraan dan diskriminasi peluang informasi dan pekerjaan” ungkap Alvina.
“Saya menyoroti tantangan lemahnya perlindungan sosial ya. Jadi ketepatan saya ini menangani kepesertaan jamsostek mandiri (perisai) Kerah Biru. Permasalahan dalam kepesertaan itu adalah jika peserta didaftarkan dengan pekerjaan katakanlah pekerja kebersihan jalan, namun bisa saja dalam tiga hari kemudian dia berdagang, dan minggu depan kembali lagi ke pembersih jalan. Tapi bisa juga tiba-tiba dia bekerja sebagai pengantar makanan karena mungkin menawarkan penghasilan lebih meski hanya beberapa hari. Jika saat peserta mengalami kecelakaan pada pekerjaan kedua atau ketiga maka dia tidak akan mendapat manfaat Jaminan kecelakaan kerja. Ini problemnya” Jelas Alvina.
Menurutnya akan menjadi berat bagi pekerja informal jika harus mendaftarkan kepesertaan lebih dari satu jenis pekerjaan meskipun pada aplikasi pendaftaran BPJS Mandiri diberikan dua jenis pekerjaan. Pekerja informal itu akan sangat mudah beralih pekerjaan dalam waktu yang singkat.
Pekerja informal di Indonesia mencakup berbagai jenis pekerjaan yang tidak selalu diakui secara formal oleh pemerintah atau sistem hukum. Mereka seringkali tidak memiliki kontrak kerja resmi, tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial, dan bekerja dalam kondisi yang tidak stabil. Penyempurnaan definisi pekerja informal sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil dan inklusif.
Alvina menambahkan bahwa banyak yang akhirnya kecewa dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sektor informal atau bukan penerima upah. Selain pengurusan klaim yang bertele-tele menjadikan peserta apriori mengikuti program tersebut.
“Jadi saya sangat berharap pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan ini, karena tadi juga saya tanyakan pada pembicara dari kemnaker, mereka juga mengakui hal ini memang masih membutuhkan penyempurnaan definisi” pungkas Alvina.
Pekerja informal mencakup berbagai sektor seperti pedagang kaki lima, buruh lepas, pekerja rumah tangga, tukang ojek, dan banyak lagi. Definisi yang terlalu sempit tidak akan mampu mencakup seluruh spektrum pekerjaan informal. Penyempurnaan definisi harus mempertimbangkan berbagai bentuk pekerjaan ini dan karakteristik khusus yang melekat pada setiap jenis pekerjaan.
Ditambahkannya bahwa dengan definisi yang lebih jelas dan komprehensif, pemerintah dapat merancang program perlindungan sosial yang lebih inklusif dan efektif untuk mengakomodasi kebutuhan pekerja informal. Definisi yang jelas akan membantu dalam pengakuan hukum pekerja informal, sehingga mereka dapat memperoleh perlindungan yang layak dari eksploitasi dan kondisi kerja yang tidak aman. Ini termasuk hak untuk upah yang layak, kondisi kerja yang aman, dan kesempatan untuk berorganisasi.
Menutup wawancara, Alvina mengatakan bahwa definisi yang lebih baik akan memungkinkan pengumpulan data yang lebih akurat mengenai jumlah pekerja informal, jenis pekerjaan yang mereka lakukan, dan kondisi kerja mereka. Data ini penting untuk perencanaan dan evaluasi kebijakan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja informal.Dengan memahami dan mengakui kontribusi pekerja informal, pemerintah dapat mengembangkan kebijakan ekonomi yang lebih inklusif, yang tidak hanya berfokus pada sektor formal. Ini termasuk akses terhadap kredit, pelatihan keterampilan, dan program pemberdayaan ekonomi lainnya.