Beranda » Berita Kerah Biru » Nasional >> Tambang Batubara Meledak Di Sawahlunto
Jakarta_kerahbirunews,- Sejak tahun 2009 kasus tambang batubara meledak di Sawahlunto, Sumatera Barat sudah tercatat paling tidak empat perisiwa. Pertama peristiwa meledaknya tambangbatubara di Bukit Bual, Sawahlunto yang menelan korban 33 jiwa pada 16 Juni 2009. Kemudian pada 25 Januari 2014 yang menelan korban 4 orang di Desa Talawi, Sawahlunto. Juga meledaknya tambang batubara pada 29 Maret 2017 di daerah Nagari Tanah Kuning dengan 2 orang korban luka bakar. Dan teranyar baru-baru ini terjadi pada 9 Desember 2022 yang menelan korban jiwa 10 orang.
Royanto Purba sebagai praktisi geologi dan juga Ketua Serikat Pekerja Kerah Biru sangat prihatin dengan korban jiwa. Apapun alasannya bahwa keselamatan pekerja adalah nomor satu dan ini merupakan bagian dari perjuangan serikat pekerja atau serikat buruh.
“Kejadian yang berulang pada regional yang sama, pada jenis tambang (batubara), dan metoda penambangan yang sama yakni bawah tanah (underground). Jadi wajar jika kita mempertanyakan dengan tegas fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dirjen ESDM. Dirjen ESDM adalah sebagai bagian dari pemerintah yang mengurus jalannya regulasi pertambangan di negeri ini. Undang-undang no 3 tahun 2020 pasal 95a mengatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pengawasan pelaksanaan pasal ini di lapangan ?” ungkap Royanto.
Tambang batubara undeground merupakan pilihan
Lebih lanjut Royanto mengatakan :“Sistem tambang bawah tanah memang akan menjadi pilihan eksploitasi mineral dan energi kedepannya. Ini karena semakin berkurangnya deposit berkadar tinggi yang dekat dengan permukaan untuk ditambang. Biasanya alasan ini karena pada penambangan batubara sangat menyangkut dengan stripping ratio. Selain itu alasan lingkungan juga menjadikan tambang bawah tanah lebih menimbulkan dampak yang jauh lebih kecil dibanding tambang terbuka. Singkatnya secara prospek tambang bawah tanah akan menjadi pilihan bagi sistem penambangan masa depan. Untuk sistem penambangan ini pemerintah telah mengaturnya dalam regulasi namun yang perlu kita pertanyakan adalah bagaimana pengawasan pelaksanaan regulasi itu di lapangan”
Sebagai anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Royanto menjelaskan bahwa pemerintah telah mengatur kaidah pertambangan yang baik. Sebagaimana dalam Permen ESDM No 26 Tahun 2018 telah mengatur Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara. Perlu dilakukan investigasi terhadap Kepala Tambang Bawah Tanah (KTBT). KTBT adalah personal dengan posisi tertinggi dalam struktur tambang bawah tanah, selain juga penyelidikan terhada Kepala Teknik Tambang (KTT) perusahaan.
“Kita berharap proses investigasi yang dilakukan apparat berlangsung dengan cepat untuk mendapatkan secara jelas penyebab ledakan yang terjadi kemarin. Dan sekali lagi agar Fungsi Pengawasan ini benar-benar dilakukan oleh Kementerian maupun Dirjen ESDM. Jangan setelah ada bencana baru diperhatikan. Bagaimapun , kejadian yang berulang ini tidak lepas dari keteledoran dan adanya standar operational yang terabaikan . Jadi apapun alasannya harus kita ingat bahwa nyawa manusia akibat kelengahan tidak dapat tergantikan oleh apapun.” tutup Royanto.