Sentul_Kerahbirunews,- FOR JET SP/SB menyelenggarakan workshop yang disponsori ILO ACTRAV selama dua hari , yang berlangsung di Hotel Lorin Sentul, Senin-Selasa, 14-15 April 2025. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 5 Konfederasi sebagai pemrakarsa Forum Just Energy Transition (FOR JET SP/SB) diantaranya : KSPSI Rekonsilasi, KSPSI AGN, KSPSI Pembaharuan, KSBSI, dan SARBUMUSI.
Kegiatan yang dihadiri beberapa anggota Federasi dari masing-masing Konfederasi tersebut dihadiri juga tokoh-tokoh semtral pekerja/buruh seperti Elly Rosita Silaban, Jumhur Hidayat, Rekson SIlaban, dan Abdul Hakim (ILO). Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru diwakili oleh Ketua Bidang Hubungan Industrial, Kamiludin.
Kepada media, Kamiludin menjelaskan bahwa tantangan Indonesia dalam memenuhi target penurunan emisi sesuai kesepakatan Paris diantaranya ketergantungan pada energi fosil dan deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Selain itu juga kurangnya pendanaan dan investasii, koordinasi antar Lembaga dan Pemerintah Daerah, Kapasitas teknologi dan sumber daya manusia,ketahanan sosial dan ekonomi, kualitas data dan transparansi.
“Untuk menjawab tantangan tersebut, dalam mencari Solusi melalui diskusi antar pemangku kepentingan, maka kegiatan ini diselenggarakan “ ungkap Kamil.
Kamiludin juga memaparkan bagaimana energi fosil dan Batubara masih mendominasi pembangkit Listrik, kebakaran hutan dan alih fungsi lahan yang masih massif terjadi, penegakan hukum yang masih lemah menjadikan tantangan terhadap perubahan iklim dan mitigasi risiko yang dihadapi.
Lebih lanjut, lelaki yang akrab dipanggil Kamil itu menambahkan bahwa fakta pendanaan iklim Internasional masih belum optimal serta minimnya investasi swasta dalam energi hijau semakin menambah tantangan bagi kemajuan transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.
Diskusi FOR JET SP/SB mencermatyi fragmentasi kebijakan antar tingkat pemerintahan, sinkronisasi program penurunan emisi masih sangat lemah sehingga dibutuhkan dorongan dari para pemangku kepentingan untuk focus dalam hal penguatan koordisasi antar Lembaga dan Pemerintah Daerah.
“Hal lainnya, yang juga menjadi topik diskusi adalah keterbatasan teknologi yang merupakan bagian dari monitoring, reporting dan verification (MRV), dibutuhkan pelatihan intens untuk peningkatan sumber daya manusia dalam bidang Perubahan Iklim” tambah Kamil.
Melalui catatan kecilnya, Kamil menyampaikan beberapa indakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi masalah/kondisi tersebut antara lain:
1. Tuntutan pada Level Kebijakan Nasional
- Jalan menuju transisi yang adil harus dibangun berpusat pada rakyat (people-centered), termasuk mencegah monopoli energi swasta.
- Indonesia perlu membuat kerangka kerja (safeguard policy) transisi yang adil, sebagai panduan para pihak dalam mengimplementasikan ‘Just Transisi’.
- Mengatasi kekurangan pendanaan transisi energi melalui pinjaman luar negeri, dilakukan tanpa mengganggu kedaulatan Indonesia.
2. Dialog Sosial dan Lembaga Tripartit Nasional
- Dialog sosial untuk transisi adil dilakukan melalui Badan Nasional untuk Transisi yang adil (The national body for Just Transition)
- Lembaga ini bertugas merumuskan pedoman transisi yang adil untuk pemerintah, serikat pekerja, pengusaha, dan kelompok social lainnya.
3. Pengembangan Pelatihan Keterampilan
Memberikan pelatihan keterampilan kepada mantan pekerja industry fosil (phase out) untuk bekerja di industri energi alternative (phase-in).
4. Integrasi Perlindungan Sosial
Perlindungan sosial kepada mereka yang terkena dampak negatif transisi energi, termasuk pekerja informal dan perempuan.
Kekurangan pendanaan perlindungan social bisa dilakukan melalui skema pendanaan kreatif, melalui kombinasi kontribusi beragam (mix finance); pemerintah daerah, pusat, pengusaha, dan pekerja
5. Kebijakan Terpadu Energi dan Kehutanan
Kebijakan pangan (food security) dan alternatif energi dari bioenergi tidak boleh melegalkan perusakan hutan (deforestasi). Bisa dilakukan dengan menggunakan lahan rusak
6. Pengembangan Kapasitas Serikat Buruh
Serikat pekerja/buruh perlu mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dalam melakukan advokasi kebijakan secara efektif. Pendanaan bisa melalui skema pemerintah, pengusaha, BPJS dan lembaga donor internasional.